Minggu, 12 Juni 2011

goresan tinta pena


MARISTA DWI RAHMAYANTIS

Goresan tinta pena
(sebuah KUMPULAN CERPEN)




UNIVERSITAS NEGERI MALANG
SASTRA INDONESIA
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat izin-Nya maka penulisan kumpulan cerpen yang berjudul “GORESAN TINTA PENA” dapat penulis selesaikan dengan baik. Buku ini ditulis sebagai upaya menambah referensi cerpen-cerpen yang telah ditulis oleh para penulis sebelumnya.
Cerpen adalah untaian kata-kata yang disusun membentuk sebuah barisan kata-kata. Dengan cerpen kita dapat membuka cakrawala di dunia sastra. Dengan cerpen kita dapat mengungkapkan isi hati. Cerpen salah satu media untuk mencurahkan segala apa yang kita rasakan.
Akhir kata, penulis berharap semoga buku dapat dipergunakan sebaik mungkin dan bermanfaat bagi pembaca. Semoga dengan adanya kumpulan cerpen ini dapat membantu menambah inspirasi di dunia sastra khususnya dunia cerpen. 
                       
            Malang, Desember 2010
                                   
                                    Penulis






CERPEN BERBASIS
PENGELAMAN PRIBADI








Genderuwo Juga Ingin Di Foto
            Telepon seluler milik Selly tiba-tiba jadi rebutan teman sekelas, seketika suasana kelas menjadi riuh tak terkendali, semua ingin melihat gambar yang berada di telepon seluler milik Selly. Keriuhan teman-teman tak membuatku tertarik untuk ikut berebut dengan mereka.
            “Ahhh, pasti gambar porno!” Kataku dalam hati dan berlalu meninggalkan kelas untuk menuju kantin kantin sekolah, karena perutku sudah menderu-deru kelaparan.
            “Hoe, Taaaaaaaaaaaaa, mau kemana?????????????” Teriak Vina teman teaterku.
            “Heh jangan teriak-teriak aku low sudah dengar, aku mau beli bakso di Mas Andri, ikut ta???? Kataku sembari melanjutkan perjalananku menuju kantin yang berada tak jauh dari aku berdiri sekarang.
            “Aaaahhhh, emang bener kalau foto kita waktu teater di MOP kemarin ada hantunya???” Tanya Vina penuh kebingungan.
            Pertanyaan Vina membuatku sadar, berarti yang direbutkan teman-teman tadi adalah foto waktu MOP kemarin.
            “Aku juga ndak tahu, kita kan foto di HPnya Selly kaannn?????” Tanyaku dengan nada kaget.
            “Iya, aku tadi dibilangin Dedi kalau foto kita kemarin ada gendruwonya!!!” Kata Vina menjelaskan dengan semangat.
            Bulu kudukku langsung berdiri, perutku menjadi tak lapar lagi, kini rasa penasaran yang menyelimuti dadaku. Aku bergegas kembali ke kelas untuk menemui Selly dan melihat apa yang sebenarnya terjadi, tragedi foto gendruwo.
“Heemmmmm ada-ada aja.” Pikirku.
Sesampainya di kelas ternyata teman-teman teaterku telah berkumpul dan terlihat serius membahas sesuatu. Tanpa berfikir panjang aku dan Vina langsung mengahampiri mereka.
“Genderuwonya pengen jadi foto model ta?” Tanyaku membuyarkan diskusi teman-temanku itu.
“Jangan bercanda Ta, ini serius!” Jawab Selly sembari mencubit pipiku.
“Haduuuuhhhhh....” Aku berteriak kesakitan.
Langsung saja aku merebut HP milik Selly yang sedang dibawa oleh Dedi. Bulu kudukku langsung berdiri, merinding semua bulu roma yang ada di seluruh tubuhku. Di foto itu terpampang samar-samar wajah hitam besar yang berada di belakang sendiri. Waktu berfoto masih teringat jelas tak ada yang berdandan hitam-hitam seperti itu. Dedy kembali memandang foto itu dan mulai menghitung serta mengidentifikasi satu persatu wajah yang ada dalam foto itu. Wajah-wajah itu perlu diidentifikasi lebih lanjut karena semuanya telah berubah menjadi karakter yang mereka mainkan waktu itu.
Ternyata di dalam foto itu ditemukan 9anggota teater yang berfoto dan 1 genderuwo, seharusnya sepuluh anggota, tetapi satu anggota itu digantikan foto genderuwo.
“Yaahhhh Vina yang tak ada dalam foto ini.” Teriak Dedi mengejutkan kita semua yang berada dalam kelas itu.
“Apa???????” Vina terlihat sangat kaget.
“Ya, genderuwo itu ingin ikut difoto juga, haahhahhahaaa....” Candaku.
Aku sekarang teringat 2 hari yang lalu tepatnya malam minggu kemarin ada serangkaian kejadian aneh yang menimpaku hingga akhirnya menghasilkan foto genderuwo ini. Ceritanya aku dan teman-teman sebagai anggota teater sekolah selalu menjadi bagian terpenting dalam pengadaan Masa Orientasi Pramuka (MOP). Kami sebagai pemain teater diharapkan selalu menampilkan cerita-cerita berbau horor waktu api unggun. Penampilan anak-anak teater ini adalah puncak acara waktu api unggun dan sebagai kejutan dalam acara. Ya aku sebagai ketua pelaksana dan salah satu panitia di acara MOP itu mempersiapkan acara sebaik mungkin, aku tak mau acara ini gagal dan berjalan baik sesuai dengan apa yang direncanakan.
Aku dan teman-teman anggota teater diharapkan datang setelah magrib agar peserta MOP tidak mengetahui kedatangan kami, penampilan teater adalah sebuah kejutan bagi para peserta MOP. Setelah magrib aku menghimbau teman-teman teater untuk berkumpul di depan Dinas Pendidikan samping sekolahku. Pukul 18.30 semua anggota teater telah berkumpul, tak lupa aku membagikan kartu identitas bagi teman-teman, agar panitia mengenali kami walaupun saat itu tempat di setting gelap hanya lilin yang menerangi.
Semua anggota masuk ke dalam sekolah melalui pintu samping, kami harus bersembunyi waktu masuk agar tak seorangpun peserta MOP mengetahui keberadaan kami. Kami masuk melewati depan masjid sekolah yang di depannya ada kamar mandi yang diterangi oleh sebuah lilin saja di dalam kamar mandi tersebut. Salah satu temanku Dedi dan Jatmiko ijin ke kamar mandi dulu, dan teman-teman yang lain bersembunyi di parkiran khusus guru.
Saat Jatmiko masuk ke kamar mandi, lilin di dalam kamar mandi tiba-tiba mati, Jatmiko merinding karena tak ada angin yang masuk ataupun alasan yang membuat lilin itu mati, Jatmiko langsung membuka pintu, ternyata pintu itu tak bisa di buka. Jatmiko sangat bingung dan menggedor-gedor pintu, Dedi yang menunggu di luar kaget dan membantu membuka pintu. Padahal pintu itu tidak dikunci tapi serasa terkunci saat Jatmiko ingin membukanya.
Teman-teman mulai kesal menunggu mereka berdua yang sangat lama berada di kamar mandi. Tak berpikir panjang aku menyusul mereka berdua di kamar mandi, aku hampir saja marah, tapi Jatmiko terlebih dahulu menceritakan kejadian yang baru saja ia alami. Aku yang pada dasarnya penakut langsung merinding, tapi tanggung jawabku sangat besar untuk membuat acara ini berjalan dengan baik.
“Tolong, cerita ini jangan sampai yang lain tahu, karena bisa membuat mereka takut dan tidak konsentrasi waktu bermain!” Pintaku kepada Jatmiko dan Dedi, merekapun menyetujui permintaanku itu.
 Langsung saja aku dan teman-teman yang sudah lama menunggu itu menuju tempat yang telah disediakan oleh panitia MOP. Aku dan teman-teman serasa seperti pencuri yang diam-diam masuk rumah sendiri. Sesampainya di tempat yang telah disediakan yaitu salah satu kelas paling ujung dan kelas yang baru saja dibangun terlihat sangat terang sekali hal ini memudahkan untuk berias. Aku dan Selly masuk terlebih dahulu ke kelas dan mengucapkan salam.
“Assalamualaikum!” Aku dan Selly bersama-sama mengucapkan salam sambil meletakkan barang bawaan yang sangat berat di salah satu bangku dekat pintu, belum sempat aku menaruh semua barang bawaanku peeeeettt lampu di kelas itu langung mati. Aku yang sedikit takut kegelapan berteriak dan Selly langsung memelukku agar aku tak ketakutan.
“Ada apa ini tiba-tiba lampu mati tanpa sebab padahal kelas-kelas yang lainnya tidak mati.”Aku bertanya kepada Vina dan teman-teman yang lain yang belum sempat memasuki ruangan. Belum terjawab pertanyaanku aku langsung lari ke tempat panitia di sekitar lapangan untuk membantu mencari tempat teman-teman berias. Salah satu panitia membantu mencarikan kelas lain untuk kami berias dan mempersiapkan diri.
Kelas yang tersisa hanya kelas paling ujung dan paling pojok yang lampunya masih menyala, kelas-kelas lain yang menyala sudah ditempati dengan pengisi acara lain. Terpaksa aku dan teman-teman menempati kelas yang terkenal cukup horor itu karena tempatnya yang paling ujung dan paling pojok.
Pesona bulan purnama malam ini tak kutemui di langit. Bulan purnama tampak remang-remang diselimuti oleh awan sejak setelah magrib tadi, menambah suasana semakin mencekam. Teman-teman mulai beraksi dan di depanku telah ada 2 orang perempuan yang akan kurias dan akan kusulap menjadi suster ngesot dan kuntilanak. Biasalah cerita-cerita yang ditampilkan pada acara MOP ini selalu berbau mistis dan menampilkan karakter-karakter tokoh hantu.
Tigapuluh menit berikutnya aku berhasil menyulap dua orang tadi menjadi tokoh yang menyeramkan. Semua yang ada di ruang itu tercengang melihat mereka berdua, tercengang bukan karena terpesona tapi karena ketakutan melihat sosok yang telah berubah menjadi tokoh hantu itu. Alhasil semua menyalahkan aku sebagai perias yang merias terlalu menyeramkan.
“Heeemmmm, biar karakternya masuk!” Godaku pada teman-teman yang mulai menyalahkanku.
Di ruangan telah tersaji banyak tokoh hantu ada suster ngesot, kuntilanak, pocong, dan tuyulpun ada di ruangan itu. Aku yang tak perlu berias malam itu hanya perlu berganti pakaian sudah siap beraksi memerankan tokoh sebagai wanita perebut suami orang. Waktu yang ditentukan sudah tiba, aku dan teman-teman menuju lapangan untuk memulai aksi kita seolah-olah sebagai pemain teater yang telah handal.
Kejutanpun mulai disajikan, semua pemain mengambil posisi di mana nanti akan keluar dari tempat persembunyiannya untuk menampilakan atraksi mereka. Teman-teman yang mendapatkan jatah di musik sudah siap menyuarakan bunyi-bunyiannya untuk membangun suasana sesuai dengan adegan-adegan yang akan ditampilkan. Suasana riuh mulai terdengar dari para peserta MOP, tapi suara itu terkalahakan oleh suara yang muncul dari teman-teman teater, akhirnya semua peserta MOP terdiam dan mulai menikmati penampilan dari teman-teman.
Aku bersiap untuk menunjukkan aksiku. Aku bersama lawan mainku yang kebetulan masih adik kelasku itu mulai keluar dari tempat persembunyian. Aku mulai menunjukkan aktingku di tengah-tengah dialog aku merasa ada sesuatu yang menjerat kakiku bersama lawan mainku. Aku dan lawan mainku tampak kebingungan untuk melepaskan jeratan itu agar tidak mempengaruhi aktingku. Karena suasana yang sangat gelap aku tak biasa melihat lilitan tali yang ada di kakiku. Seperti tali yang sangat panjang yang sedang menjerat kakiku. Beberapa menit berikutnya aku merasakan jeratan itu hilang, entah kemana.
Saatnya para hantu-hantu yang tadi bersembunyi keluar diantara peserta MOP, jerit tangis dan ketakutan para peserta mulai tampak. Suasana lapangan tempat api unggun itu semakin mencekam, mendung menutupi rembulan, walaupun bulan purnama, bulan malam ini tampak redup selayaknya orang yang sedang bersedih. Setelah aksi dari para pemain selesai, aku, Selly, dan Dedi kembali terlebih dahulu ke kelas tempat berias tadi teman-teman masih berjalan di belakang.
‘Heeemm, sukses sekali penampilan kita kali ini, sukses besar membuat semua takut,hahhhahahaaaa...” Suaraku memecah keheningan diantara kami bertiga.
“Ya, ya, ya sukses sekali.” Suara Selly dengan penuh kesenangan.
Kami bertiga berjalan di tengah kegelapan menuju kelas tempat kami berias sebelumnya, kelas paling ujung dan paling pojok diantara jajaran ruang-ruang kelas di sekolahku. Sampailah aku di depan kelas, aku bersama Selly masuk kelas dan temanku Dedi menunggu teman-teman yang lain di luar kelas.
“Alhamdullillah, selesai.” Suaraku muncul saat kakiku mulai menapaki ruangan kelas. Aku lihat Selly hanya terdiam tapi aku merasa ada sesorang yang meniru suaraku dengan pelan, angin yang cukup kencang mulai memasuki ruang kelas membuat bulu kudukku berdiri seperti akan melaksanakan upacara. Aku langsung engajak Selly keluar ruangan. Di luar aku bertanya pada Selly.
“Sel, kamu tadi menyahut kata-kataku waktu di dalam?” Tanyaku dengan penuh kecemasan.
“Enggak tu, aku Cuma diam tak berkata sepatahpun waktu di dalam, ada apa?” Jawab Selly dengan wajah kebingungan.
“Ake merasa ada yang menyahutku mengatakan alhamdulillah juga, berarti...”
“Sudah ndak usah diterusin, aku tahu apa yang akan kau katakan!” Selly memotong kata-kataku.
Aku mencoba untuk berfikiran positif, aku membuang jauh-jauh perasaaan konyol dan paranoid yang menari-nari di otakku. Teman-teman yang lain datang, masih dengan kostum hantunya masing-masing, dan Selly asik berfoto-foto ria bersama teman-teman yang lain.
Ruang kelas itu kembali ramai oleh teman-teman yang merasa sangat puas dan senang dengan keberhasilan penampilan mereka baruasn. Aku kembali masuk ke ruang itu dan ikut berfoto bersama-sama. Ada sepuluh anggota yang semuanya ikut berfoto, camera yang digunakan hanya kamera ponsel milik Selly. Aku teringat kejadian di lapangan waktu aku main tadi ada tali yang terasa panjaang menjeratku dan lawan mainku.
Tanpa berkata apapun aku meninggalkan sesi pemotretan itu dan menyeret lawan mainku tadi untuk menuju lapangan lagi. Suasana lapangan sudah sangat sepi para peserta MOP sudah memasuki ruang kelas untuk istirahat, yang tersisa hanya sisa-sisa api yang masih menganga. Dengan senter di tanganku, aku berlari ke tempat di mana aku berdiri dan terjerat tali bersama lawan mainku, ternyata di tempat itu tak ada satupun tali atau bend-benda yang mengindikasikan untuk bisa menjerat. Aku menghampiri panitia yang sedang berkumpul di kesekretariatan dan bertanya seputar tali, dan mereka menjawab tak ada tali di lapangan.
Pikiranku semakin kacau, aku berlari ke ruang kelas di mana teman-teman teaterku berkumpul, ternyata mereka belum membenah diri dan akan makan.
“Kita pindah tempat, pos kita di depan ruang guru saja!” suaraku tampak putus-putus dan nafasku mulai tersengal-sengal karena aku baru saja berlari.
“Kenapa??? Kita mau makan dulu?” Tanya salah satu anggota teaterku.
“Sudahlah, kita makan di sana saja, ayooo!!!!1” Kataku mencoba meyakinkan mereka.
Tanpa banyak kata Selly dan Dedi sepertinya tahu maksudku dan mengemasi seluruh barang-barang dan pindah tempat ke ruang guru. Kami tak langsung pulang, karena masih ada tugas di acara jelajah malam.
Di ruang guru terlihat sepi hanya beberapa guru yang bertindak sebagai pembina serta pengawas MOP. Aku yang cukup dekat dengan paa guru di sekolah mulai menceritakan kejadian-kejadian aneh itu. Salah satu guru memaklumi karena sebelumnya banyak yang melaporkan kejadian-kejadian aneh seputar acara MOP. Pesan salah satu guru, agar kami banyak-banyak berdoa dan tidak mengganggu mereka.











CERPEN BERBASIS
PENGALAMAN
ORANG LAIN







Satu, untuk Pengangkat Keranda Anakku
Kehidupan, sebenarnya apa arti sebuah kehidupan? Kehidupan adalah di mana bisa makan dan bisa membiayai sekolah anak-anak itu arti sebuah kehidupan yang ada di benak Tasminah, seorang ibu berusia 47 tahun dan harus menghidupi dan menyekolahkan lima orang anaknya tanpa sosok suami yang menemaninya mencari nafkah. Anak pertamanya yang masih duduk di bangku SMA seorang perempuan sekuat Tasminah, dia selalu membantu ibunya seadanya demi mencari selembar uang ribuan untuk membelikan adik-adiknya jajan. Anak kedua Tasminah masih duduk di bangku SMP, dan tiga anaknya lagi duduk di bangku SD. Ya... Tasmini, wanita hampir separuh baya yang selalu pantang menyerah dan pekerja keras. Walaupun hidup tanpa suami dan bertempat tinggal di  sebuah rumah dari anyaman bambu, dia tak pernah mengeluh dengan kehidupannya yang jauh dari rasa nyaman dan limpahan harta itu.
Setiap pagi menjelang, bergegaslah Tasminah menuju pasar untuk berjualan pecel. Pecel buatan Tasminah banyak dinanti-nanti orang-orang yang selalu melangkahkan kakinya di pasar itu dengan kata lain pecel buatan tasminah laris karena rasanya yang selalu menggoyang lidah. Tak lama dia berdiam diri untuk menjajakan pecelnya, dia harus segera beranjak pulang untuk melanjutkan aktifitasnya sebagai ibu rumahtangga yang merangkap sebagai bapak untuk mencari nafkah. Tak lama dia meninggalkan pasar yang setiap hari selalu dia datangi  sebagai tempat mencari lembar-lembar ribuan. Setelah merapikan barang-barang yang dia gunakan berjualan tadi, tasminah langsung menyiapkan beberapa alat yang cukup berat dan alat ini terlihat tak pantas jika di bawa oleh seorang wanita. Tak salah lagi Tasminah membawa peralatan untuk mencari batu. Dia membawa paliu ukuran besar dan sebuah linggis yang ukurannya lebih besar dari linggis-linggis pada umumnya. Tak berfikir panjang Tasminah menuju tempat penggalian batu marmer yang ada di daerah tempat tinggalnya. Selayaknya seorang pejantan, Tasminah melancarkan aksinya untuk menggali batu marmer kubik demi kubik tak peduli terik maupun hujan. Matahari tampaknya sudah harus berpamitan, begitupula dengan Tasminah, dia harus kembali ke rumahnya. Sesampainya di rumah Tasminah langsung membersihkan diri dan dia luangkan sedikit waktunya untuk berkumpul serta bersenda gurau dengan kelima anak-anaknya.
Jika memandang anak ketiganya Tasminah hanya berfikir, Tuhan tak adil padaku, kenapa anakku harus menanggung penyakit itu, ya anak ketiga Tasminah tidak hidup seperti anak pada umumnya yang masih seusianya, Endro nama anak itu. Laki-laki berusia 11 tahun itu harus hidup tak normal, pola fikirnya seperti anak usia 5 tahun, kakinya tak bisa tumbuh dengan normal. Endro selalu kesulitan jika harus berjalan, suaranya yang kidal, matanya yang juling, dan sering sakitnya Endro seakan-akan melengkapi penderitaan anak kecil itu. Tasminah selalu berusaha agar Endro bisa hidup bahagiaa dengan segala kekurangannya. Sontak tasminah terkejut disela-sela tawa dan canda anak-anaknya Endro meraung-raung kesakitan. Seperti kegiatan rutin Endro setiap harinya dia selalu merasa kesakitan jika terlalu banyak beraktifitas, mungkin hal itu terjadi karena kelemahan raga yang dimiliki Endro dan sering sakitnya Endro. Keadaan Endro yang demikian itu semakin membuat semangat Tasminah untuk melanjutkan pekerkjaannya. Malam haripun tiba Tasminah menuju tempat pembakaran batu gamping. Tasminah bekerja sebagai pembakar batu gamping, pekerjaan ini dia lakukan sampai pukul 10 malam. Hal ini Tasminah lakukan agar anak-anaknya tetap bisa makan dan sekolah, yang pasti untuk membiayai pengobatan Endro. Rutinitas ini telah dilakukan Tasminah 10 tahun belakangan ini semenjak dia ditinggal pergi suaminya. Suami Tasminah pergi bukan karena kematian, tetapi karena kebejatan sang-suami meninggalkan Tasminah beserta anak-anaknya demi seorang penari tayub. Suaminya tidak pernah mengurusi anak-anaknya, dia terlalu terbuai dengan kebahagiaan yang didapat bersama penari tayub itu.
Malam semakin larut, malam ini tak seperti biasanya, Tasminah lupa akan waktunya untuk pulang karena keasikan dengan pekerjaannnya. Walaupun pekerjaan ini untuk seorang laki-laki tapai Tasminah tak pernah mengeluh sedikitpun. Di tempat pembakaran batu gamping Tasminahlah satu-satunya pekerja wanita.
“Minah, sudah hampir larut tidak baik perempuan pulang jam segini, saya antar ya!!!”, celutuk Suryo lelaki 2 tahun lebih tua dari Tasminah memecah keheningan malam itu.
“Mboten, akan lebih bahaya lagi kalau warga tahu sampeyan mengantarku, apa kata mereka?” jawab Tasminah dengan halus.
“Aaaahhhh, kamu jangan terlalu terbawa gosip warga di sini yang selalu mengatakan kita ada hubungan”, sela Suryo dengan nada gusar.
“Bukaannya terbawa gosip Pak, tapi saya menghargai mereka dan istri sampeyan!”, sela Tasminah lagi.
“Aku hanya kasihan padamu Minah, kau bekerja selayaknya seorang lelaki, sudahlah jangan hiraukan omongan orang!”, nada bicara Suryo semakin meninggi.
“mboten Pak, saya bisa pulan sendiri!”, jawab Tasminah dengan perasaan sedikit takut.
“Ya sudah, aku pulang dulu saja kamu baik-baik di jalan ya!!!” sahut Suryo dengan nada merendah.
Tasminah tak berkata apa-apa, hanya anggukan kepala yang mengiringi kepergian Suryo. Tasminah tak mungkin untuk menerima tawaran yang Sury aukan setiap malam, karena  Tasminah tahu warga akhir-akhir ini membicarakan tentang dia dan Suryo. Warga mengangggap Tasminah telah mengganggu Suryo.
Tasminah tak heran itulah resiko yang harus dia dapatkan dari seorang wanita yang ditinggal suaminya pergi entah kemana. Tak sedikit yang membecarakan Tasminah akhir-akhir ini, mereka berfikir hanya akal-akalan Tasminah saja bekerja di pembakaran gamping itu, padahal dia ingin mendekati suryo dan berada lebih lama lagi di dekat suryo. Tak tahu apa yang dipikirkan warga saat ini, mungkin mereka keracunan keong kali sampai bisa berfikiran sekonyol itu.
Terlepas dari gunjingan warga tentang Tasminah, Endro anak Tasminah malam itu sedang sakit keras, tak tahu kenapa tiba-tiba badannya panas sangat tinggi. Pada saat itu Endro harus dibawa ke Rumah Sakit tapi apa daya tak sedikitpun uang dipegang leh Tasminah. Dia baru membayar uang sekolah untuk anaknya yang duduk di SMA. Fikiran Tasminah begitu kalut, dia takut akan terjadi sesuatu yang tidak dia inginkan. Tasminah sudah berusaha mencari banuan kesana kemari tapi apa daya warga tidak begitu menghiraukannya lagi karena berita fitnah yang sedang menerpa dirinya.
Tasminah memberanikan diri untuk mendatangi rumah Suryo walaupun resikonya pasti akan sangat berat. Di rumah Suryo, istri Soryo telah memaki-maki Tasminah sebelum Tasminah mengutarakan apa maksud kedatangannya. Suryo yang mendengar keributan terjadi di depan rumahnya dia langsung bergegas menghampirinya.
“Apa yang terjadi ini, ada apa ta Bu kok ribut malam-malam begini?” tanya Suryo kepada istrinya.
“Ini lho Pak, selingkuhanmu berani-beraninya datang ke rumah malam-malam begini, coba sampean bayangkan, mau apa coba kalau nggak mau nggoda samapean?”, sergah istri suryo dengan nada bicara sangat kasar.
“Ibu ini ngomong apa ta, nggak enak didengar tetangga malam-malam gini, mbok yo Tasmini di suruh masuk dibicarakan baik-baik di dalam apa maksud dan tujuannya datang kemari malam-malam gini!”, kata pak Suryo pada istrinya.
“Biarin semua tetangga tahu Pak, kalau si wanita jalang ini mau ganggu suami orang malam-malam gini!”, jawab istri Duryo.
‘Sudahlah Bu, sampean kok jadi tak bisa dikendalikan seperti ini.”
“Wes Tasminah jangan di dengar kata istriku, ada apa kamu kemari malam-malam begini?” tanya Suryo.
“Anu Pak... Anu.... Endro anak saya sakit keras panasnya sangat tinggi dan kadang-kadang kejang, saya tidak punya uang untuk membawanya ke rumah sakit!”, jawab Tasminah dengan penuh air mata.
“Halah Pak bohong, pasti hanya akal-akalna dia saaja untuk mendekai sampean!” sela istri Suryo.
“Sudahlah Bu, jangan banyak bicara kasian Tasminah dia butuh bantuan!”
“Ayo Minah kita ke rumahmu!” kata Suryo.
“Pak, mau kemana sampean, sampean mau ningalin aku untuk wanita jalang itu seperti Harjo (suami Tasminah) meninggalkan dia dulu?”, teriak istri Suryo dengan menangis.
Suryo tak menghiraukan makian istrinya, dia tak tega melihat Tasminah terus-terusan mendapatkan makian dari istrinya. Sementara itu Tasminah hanya tertunduk tak  bersuara dengan menahan sejuta rasa sedihnya yang hanya dapat dia tuangkan dengan airmata. Suryo seketika langsung memegang pergelangan tangan Tasminah dan mengajaknya pergi. Istri Suryo tak henti-hentinya memaki dengan nada keras diiringi isak tangis yang sangat dasyat. Tetangga Suryo yang mendengar suara dari istri suryo berhamburan keluar rumah untuk mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi.
“Pak Suryo, maafkan kalau saya terlalu merepotkan Bapak, tidak seharusnya Bapak melakukan hal ini, bagaimana dengan istri Pak Suryo?”, protes Tasminah.
“Sudahlah Minah enhkau jangan terlalu memikirkannya, istriku hanya cemburu saja, yang penting sekarang Anakmu, kita harus segera membawanya ke rumah sakit!”, jawab Suryo.
Sesampainya di rumah Tasminah, keempat anak Tasminah telah berkumpul di dekat Endro dengan perasaan gelisah dan khawatir menunggu kedatangan Tasminah. Keadaan Endro semakin parah, badannya lemas sudah tak berdaya lagi, panas di wajahnya semakin tinggi, tetapi kaki dan badan Endro dingin sedingin es batu dan wajahnya sangat pucat pasi.
“Ayo segera kita bawa ke rumah sakit sebelum terlambat!” perintah Sury yang sudah tak tega melihat keadaan Endro yang semakin parah.
Melihat keadaan anaknya seperti itu Tasminah tak kuasa menahan keluh kesahnya, dia terus-terusan menangis dan selalu menyebut nama Tuhannya di setiap langkahnya. Sesampainya di rumah sakit Endro langsung di bawa ke ruang gawat darurat, selang beberapa dua perawat yang tadi membawa Endro masuk ke dalam ruang gawat darurat keluar.
“Maaf Bu, semua sudah ada yang mengatur, bersabarlah!”, kata salah satu perawat kepada Tasminah.
Tasminah menghentikan tangisnya, dia mengerti apa maksud perawat itu, dia tak mampu untuk berbuat dan berkata sepatah katapun. Hatinya mulai terkoyak derai airmata yang sempat dia hentikan kini mulai keluar dengan derasnya dan isak tangis yang tak dapat dia bendung. Berlarilah Tasminah memasuki ruang gawat darurat, dengan sedikit senyuman pilu dia memeluk Endro. Kepala Endro yang tadi panas bagai kobaran api, kini berubah menjadi dingin di seluruh tubuhnya, wajahnya menjadi pucat dan berkerling senyum simpul di bibirnya.
Sejenak Tasminah memutar kenangan bersama anak laki-lakinya yang kini terbujur di depannya. Tetesan airmata Tasminah turun dengan deras ketika dia ingat satu hal, bahwa Endro ingin sekali bertemu dan memeluk bapaknya. Sebelum semua itu terwujud, Endro telah pergi dan tak pernah kembali lagi, kecuali kembali di dunia mimipi.
Malam itu juga Tasminah dan Suryo membawa jenasah Endro pulang, di rumahnya terlihat sepi, hanya beberapa orang tetangganya yang berada di rumah Tasminah. Tidak seperti suasana saat ada orang meninggal, banyak para tetangga yang berdatangan, walaupun hanya sekedar mengucap bela sungkawa. Suasana itu tak dijumpai Tasminah, rumahnya kelihatan sepi-sepi saja, terlihat tidak lebih dari sepuluh orang tetangganya yang berada di rumahnya. Tasminah hanya berfikir, mungkin masih malam mereka belum mendengar berita kematian anakku.
Kedatangan Tasminah beserta Endro yang telah terbujur tak berdaya, disambut haru keempat anak Tasminah. Hujan airmata menghiasai gubuk kecil milik Tasminah. Matahari sudah mulai memunculkan senyumnya di ufuk timur. Tasminah beserta keempat anaknya masih terlihat duduk bersila di samping jenasah Endro dan membacakan kalimat-kalimat doa. Suryo sedari semalam sibuk mengurusi pemakan untuk Endro.
Suasana rumah Tasminah tak berubah, masih seperti tadi malam saat Tasminah pulang dari rumah sakit, tetap saja terlihat sepi.
“Ke mana ya para tetangga yang lain kok tak muncul untuk membantu pemakaman Endro?”, tanya Suryo kepada salah satu tetangga yang berada di rumah Tasminah.
“Saya rasa mereka takkan pernah datang Pak!”, jawab tetangga itu dengan nada lemah.
“Kenapa?”
“Tak seharusnya mereka berbuat seperti itu, kita sebagai penduduk desa harus saling membantu dalam segala hal, atau jangan-jangan mereka sudah merasa hidup di kota-kota besar yang tidak membutuhkan bantuan oaranglain?”, sergah Suryo dengan perasaan gisar.
“Ma... ma... maaf Pak sebelumnya, mereka tidak berfikir seperti itu, malah mereka masih berfikir sangat kuno!” jawab tetangga itu lagi dengan terbata-bata kelihatan sekali kalau takut dalam menjawab.
“Maksudnya apa, aku masih belum mengerti!” tanya Suryo sembari menghentikan aktivitasnya.
“ Begini Pak, para tetangga yang lain menganggap ini sebuah kutukan!”.suara tetangga itu semakin melemah.
“Aku semakin tak paham maksudmu, kutukan? Kutukan apa yang kau maksud?” tanya Suryo dengan nada semakin bingung.
“Kutukan, bahwa Tasminah telah merebut Bapak dari istri Bapak!”suara yang tadi melemah kini terdengar samar.
Kemarahan Suryo tak bisa terbendung, tapi apa daya Suryo tak bisa apa-apa.
Di rumahnya Tasminah merasa bingung, apa yang terjadi dengan tetangganya yang berubah secara tiba-tiba menjadi tetangga yang tak pernah peduli kesusahan Tasminah. Tak seperti dulu, mereka selalu menawarkan segala bantuan untuk membantu Tasminah, tapi kenaa sekarang tasminah memang benar-benar membutuhkan bantuan mereka tak datang seolah-olah tak peduli dengan keharuan yang menyelimuti keluarga Tasminah.
Tasminah memberanikan diri untuk bertanya kepada salah satu tetangganya, jawaban yang Tasminah dapat seperti jawaban yang diterima Suryo. Tasminah semakin tak dapat membendung rasa sedihnya. Kini, semua menganggap Tasminah wanita yang tak punya maalu merebut suami orang, padahal mereka salah menilai, Tasminah tak sedikitpun memiliki pikiran seperti itu.
Suryo yang baru saja datang dari pemakaman memberitahukan kepada Tasminah kalau liang lahat untuk Endro telah siap. Mendengar hal itu Tasminah tak kuasa, untuk kali ini Tasminah tak terlihat sebagai wanita perkasa seperti biasanya, dia terlihat sangat lemah dan hanya satu kata yang muncul dari mulutnya.
“Apakah aku sendiri yang haarus menggendong anakku menuju liang lahat?” pertanyaan yang menyayat hati Suryo dan beberapa tetangga wanita yang berada di rumah Tasminah.
“Aku akan membantumu!” jawab Suryo.
‘Tidak Pak, saya sudah banyak merepotkan Bapak!”, jawab Tasminah dengan penuh derai airmata.
Acara pemakaman akan segera di mulai yang tersisa di rumah Tasminah hanya Suryo, dua orang laki-laki tetangganya dan 7 oranga wanita tetangga Tasminah. Jika dihitung kurang satu laki-laki untuk membawa keranda Endro menuju peristirahatan terakhir. Tanpa berfikir panjang Tasminah berlari ke rumah salah satu tetangganya dan mengetuk pintu rumah itu. Semua yang berada di rumah Tasminah hanya terdiam tak mengerti apa yang akan dilakukan Tasminah.
“Pak Bari, tolonglah saya untuk membawa keranda anak saya menuju pemakaman!” teriak Tasminah di depan rumah Pak Bari. Tapi, tak ada sahutan dan tak ada orang yaang keluar dari rumah itu, rumah itu tetap tertutup rapat, hanya pintu yang ingin merangkul keluh Tasminah. Tasminah hanya menangis di depan pintu salah satu tetangganya itu.
Dari jauh terlihat seorang bapak-bapak berusia kira-kira sebaya dengan Suryo menuju rumah Tasminah. Pakaiannya yang rapi membuat semua orang terpana melihat kedatangan orang yang telihat parlente itu. Semua orang hanya terdiam tak menyangka siapa yang datang. Tasminahpun tak mampu berkata sepatahkatapun melihat kedatangan orang itu.
Yaa, tak salah lagi Harjo yang datang ke gubuk penuh tangis itu. Tanpa berkata apapun keranda Endro mulai berjalan menuju peristirahatan terakhir bagi Endro. Setelah acara pemakaman Endro, Harjo kembali ke rumah Tasminah, selang beberapa saat, Harjo berpamitan untuk pulang kepada Tasminah. Satu kata yang keluar dari bibir Tasminah.
‘Terimakasih telah mengantar Endro!”, kata Tasminah kepada Harjo.
Harjo hanya terdiam dan meninggalkan Tasminah tanpa kata-kata. Harapan Tasminah yang tadi sedikit tertanam dengan kehadiran Harjo suaminya, kini luluh kembali seiring kepergian Harjo. Tasminah berharap dengan kedatangan harjo akan menghapus luka dan anggapan orang tentang dirinya sebagai perebut suami orang. Tetapi harapan itu harus dibuang jauh-jauh, harjo kembali meninggalkan Tasminah dan anak-anaknya seperti 10 tahun yang lalu. Tasminah kembali menatap keempat anaknya dengan segala harapan yang tersisa di wajah keempat anaknya setelah kepergian bapak mereka.







CERPEN BERBASIS
FAKTA







Suamiku Kembali
Langit terlihat menguning, senja di ufuk barat mulai menampakkan keindahannya sekitar pukul 17.00 WIB Pak Trisno, begitu biasanya orang-orang memanggil tukang bakso keliling itu melamun di beranda rumahnya, rumah dari bilik bambu berwarna putih, putih bukan dari warna cat tetapi putih warna kapur gamping. Isi rumah yang tidak lengkap, hanya sebuah televisi kecil yang menjadi sebuah mahkota rumah itu, dan pemecah keheningan dikala suasana mencekam. Halaman rumah yang luas dan bertanah lembut dihiasi sebatang pohon mangga menambah sejuk suasana rumah. Pak Trisno kelihatan murung sekali, seketika itu muncul suara yang membuyarkan lamunannya.
            “Pak, jangan melamun saja ini hampir magrib, ndak baik nglamun!” tegur istri Pak Trisno yang bernama Suratun.
            “Ndak Mak, aku ndak nglamun kok!” jawab Pak Trisno sembari menutup-nutupi kesedihannya.
            “Jangan berbohong Pak, ada apa to Pak kok kelihatannya sedih sekali, ndak seperti biasanya, semua kebutuhan Bapak sudah tak siapkan di dalam tas besok tinggal membawa!” kata istrinya.
            “Ndak tahu Mak, tiba-tiba pikiranku kacau, aku kepikiran Emak dan anak-anak!”
            “Sudah to Pak, ndak usah dipikirkan kan sudah biasa to Bapak meninggalkan kita, kan ini juga untuk kepentingan anak-anak dan kita bersama to!” kata Suratun menghibur Pak Trisno.
            “Kalau aku sudah ndak ada, titip anak-anak ya Mak!” kata Pak Trisno sambil kembali melamun melihat langit yang hitam kelam diselimuti mendung-mendung tebal, pasti sebentar lagi akan hujan.
            “Pak, ojo tambah ngawur, sudah cepetan masuk rumah sana sudah surup!” kata Suratun yang tiba-tiba berfikiran yang tidak-tidak terhadap suaminya.
            Keesokan harinya Pak Trisno harus bergegas kembali ke Semarang untuk mencari nafkah. Pelanggan-pelanggan sudah menuunggu nikmatnya bakso Pak Trisno. Setelah berpamitan kepada ketiga anak dan istrinya Pak Trisno menuju ke stasiun untuk naik kereta dan kembali ke Semarang. Tidak seperti biasanya Suratun sangat ingin sekali mengantar suaminya menuju stasiun. Sebelum suaminya meninggalkan rumahnya, Suratun merasa sedhih dan tak ingin membiarkan suaminya itu kembali ke Semarang. Suratun dan suaminya mengendarai angkutan umum menuju ke stasiun yang jaraknya cukup jauh dari rumahnya.
            Sesampainya di stasiun Pak Trisno membeli tiket dan bergegas masuk ke dalam kereta. Selang waktu 10 menit kreta itu melaju meninggalkan stasiun, dan melaju menuju Semarang. Wajah Trisno semakin muram begitupula Suratun, dia seakan-akan seperti anak muda yang ditinggal pergi jauh oleh kekasihnya. Perasaan yang berkecamuk itu tak seperti biasanya.
“ Kenapa hati ini sangat sedih sekali, tak seperti biasany???? Hati Suratun bertanya-tanya.
 Suratun meninggalkan stasiun dengan perasaan sedih. Sesampainya di rumah perasaan Suratun tetap semakin tidak karu-karuan. Malam semakin larut tetapi Suratun belum dapat memejamkan matanya, fikirannya tetap melayang-layang pada suaminya, dia merasa rindu sekali pada suaminya itu. Mataharipun mulai memunculkan senyumnya di ufuk timur, Suratun enggan beranjak dari tempat tidurnya karena semalaman dia tidak bisa tidur memikirkan sang suami, tetapi tuntutan sebagai ibu rumah tangga memutuskan harapannya untuk tetap berada di atas tempat tidur.
            Saat memasak di dapur Suratun mendengar bunyi televisi dari ruang tengah. Suratun mendengar ada kecelakan kereta api di salah satu stasiun di Semarang yaitu di Pemalang. Suratun sontak kaget dan langsung meninggalkan masakannya yang ada di dapur untuk melihat televisi di ruang tengah memastikan bahwa bukan kereta api yang ditumpangi suaminya. Suratun sangat kaget luar biasa ternyata kereta api yang mengalami kecelakaan adalah kereta api yang ditumpangi suaminya. Perasaan cemas menyelimuti Suratun dia langsung mencari-cari informasi tentang kecelakaan itu dan korban-korban kecelakaan itu. Suratun hanya dapat berharap tidak terjadi sesuatu pada suaminya.
            “Ya Allah apa yang telah terjadi, semoga tak terjadi apa-apa dengan suamiku.” Doa itu mengiring rasa khawatirnya.
Sekitar pukul 08.00 Suratun mendapat kabar dari Dinas Perhubungan Kota Semarang bahwa suaminya telah meninggal pada kecelakaan naas itu. Suratun sontak kaget hanya tangis yang dapat dia curahkan, ingin hati berangkat ke Pemalang untuk menjemput jenasah suaminya, tapi apa daya tak ada biaya untuk pergi ke Pemalang.
Suratun seakan-akan sadar bahwa kemarinlah terakhir dia bertemu dengan suaminya. Dia juga baru sadar kecemasan suaminya kemarin adalah pertanda bahwa akan terjadi sesuatu terhadap suaminya. Suratun hanya mengharap bantuan dari pemerintah untuk mengantarkan jenasah suaminya sampai rumah tanpa biaya.
            Hari itu sekitar pukul 10.00, sebelum jenasah suaminya diantar ke rumah. Suratun mendapat tiket gratis kereta api ke Pemalang untuk menjemput jenasah suaminya. Suratun tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, langsung saja dia melaju menuju Pemalang, walaupun rasa trauma menghantui ketika naik kereta api. Sesampainya di Pemalang dia menuju ke Rumah sakit tempat suaminya ditempatkan. Ketika sampai di depan ruang jenasah, Suratun menumpahkan rasa sedihnya dan menangis dengan hebatnya. Di depannya telah terbaring sosok jenasah yang semasa hidupnya sangat dia sayangi dan sangat dia hormati.
***
Suratun menganggap Trisno belum meninggal dan masih sering mendatangi Suratun ketika malam tiba. Seperti malam itu suasana malam sangat sepi, anak-anak Suratun telah tidur sedari sore karena seharian hujan tak berhenti mengakibatkan suasananya nyaman untuk beristirahat melepas lelah dan penat.
Suratun sangat sulit memejamkan mata, dia kadang takut hayalannya setiap malam yang selalu menghantuinya datang lagi. Bayangan sang suami masih belum luput dari hayalannya. Suratun merasa setiap malam Trisno datang menghampirinya dan ingin mengatakan sesuatu.
Malam itupun tak ubahnya malam-malam sebelumnya bayangan  trisno datang. Suratun tampak merinding tapi dia juga ingin meraih sosok suaminya itu lagi ingin melepas rasa rindu yang selalu melekat pada hatinya.
“Pakkkk, itukah kamu???” Tanya Suratun pada sebuah bayangan yang mirip suaminya itu.
Bayangan itu hanya diam tak menyahut Suratun, yang terjadi hanya sebuah hal konyol yan dirasakan Suratun. Kedatangan bayangan itu mengubah dunia yang dirasakan Suratun saat ini. Rumah Suratun berubah selayaknya kerajaan yang dipenuhi bunga-bunga. Rumah yang terbuat dari bilik bambu tiba-tiba berubah menjadi sebuah kerajaan yang warna warni dengan bunga kepak kupu-kupu, kicauan burung yang menyejukkan hati.
Serasa seperti dunia mimpi yang segalanya serba indah, di tengah-tengah taman kerajaan itu ada sebuah air terjun yang pancurannya langsung dari langit. Airnya sungguh menyegarkan raga. Di pinggir air terjun ada sebuah tempat duduk yang langsung menatap indahnya pusaran air dan gemericik air terjun serta pancuran air dari langit.
“Apa maksud semua ini, aku seperti mimpi, atau memang mimpi???” Tanya Suratun kepada dirinya sendiri.
Sekejap tempat indah itu berubah menjadi stasiun yang menyeramkan, tumpukan gerbong yang telah lapuk mengelilingi stasiun, kicauan burung-burung camar tadi menjadi sebuah suara menyeramkan dari kepakan sayap burung malam yang selalu mendapat julukan burung hantu. Muncul juga suara raungan dari orang-orang yang meminta tolong enambah seram situasi di tempat itu.
 Di antara gerbong-gerbong itu muncul secara bergantian orang-orang minta tolong yang tak pernah suratun kenal sebelumnya. Orang-orang itu terlihat sangat kesakitan, Suratun sadar suaminya tak lagi di sampingnya, sekarang dia hanya seorang diri berdiri di tempat yang manakutkan itu. Suratun terus mencari-cari suaminya, taernyata suaminya berada di antara orang-orang yang meraung-raung kesakitan minta tolong itu.
Ketika itu Suratun terus dan terus berdoa dan menyebut asma Tuhannya berulang-ulang, tempat yang menakutkan itu kembali menjadi taman bungan yang indah, berwarna-warni bunga, kupu-kupu bertebaran di atas bunga-bunga itu di tengah-tengah taman itu muncul air terjun dari langit, Suratun mendekati air terjun itu, di tempat itu Suratun bertemu dengan suaminya yang duduk di pinggir sebuah kolam.
“Terimakasih telah mendoakanku!” kata suaminya dengan wajah penuh senyum.
Setelah perkataan suaminya tempat itu berubah lagi menjadi rumah seperti sedia kala.
“Apakah aku bermimpi??? Terlihat Suratun sangat bingung dengan apa yang telah dia hadapi sebelumnya, dia tak percaya, tapi itulah yang terjadi.





















CERPEN BERBASIS
CERITA






MAAF, BUKAN UNTUKMU
            Kegundahan menyelimuti hatiku. Bunga-bunga berwarna-warni di taman Kadipaten ini tak membuatku segar dan gembira seperti biasanya. Hatiku terasa penat, tak ada sedikit tawa yang menghiasi senyumku sepanjang hari ini.
            “Perasaan konyol apa ini, aku merasa permasalahan ini sangat berat, padahal ya biasa saja, atau aku terlalu panik dengan keadaan ini?” Gumamku.
            “Aku bisa gila, jika terlalu aku pikirkan, aahhh sudah seperti anak remaja saja yang selalu memikirkan tentang cinta!” Kataku dengan diriku sendiri.
            Aku mulai kesal dengan pikiran konyolku sendiri, aku bukan anak remaja lagi yang harus bingung dengan urusan cintanya. Ini bukan hanya urusan cinta semata, ini urusan nama baik orang tuaku di depan warga Kadipaten Bedalem ini. Aku tak mau para warga menganggap orang tuaku terlalu gila dengan harta. Aku harus berpikir keras untuk menentukan nasibku di masa depan dengan tidak menyampingkan keinginan orangtuaku.
            Walaupun aku anak seorang Adipati di Kadipaten ini, aku tak mungkin bertindak semauku tanpa menghiraukan orang-orang di sekitarku. Aku harus menghargai mereka, keputusan yang tak mudah aku ambil dan aku sangat mengharap keputusanku nanti adalah keputusan yang paling baik dan tidak merugikan orang lain.
            Aku segera beranjak dari taman yang sudah tidak bisa membuat hatiku menjadi lebih baik itu. Aku menghampiri ibuku yang sedang mengolah ramuannya untuk menjadi sebuah jamu tradisional.
            “Ibu sedang tidak sibuk kan?” Tanyaku dengan penuh keraguan.
            “Sibuk!” jawab ibu dengan ketus.
            Aku terperanjat kaget dengan ucapan ibu, apakah ibu marah kepadaku dengan ketidakpastian keputusanku, pikiran yang semakin konyol melayang-layang di otakku.
            “Apa anakku sayang???? Ibu hanya bercanda, apa yang hendak kau bicarakan?” ibu mulai menunjukkan senyum dan sikap ramahnya.
            “Heeemmm, ini baru Ibuku yang ramah dan penyayang!’ Aku mulai merayu dan bermanja-manja di depan ibuku.
            Aku mulai bercerita tentang kegundahan hatiku, aku sangat bingung menentukan pilihan hidup antara Sadewa dan Aji. Sadewa seorang laki-laki yang aku cintai, jika dilihat dari segi 3B Bibit, Bebet, dan Bobotnya sudah sangat memenuhi kriteria sebagai pendamping hidup. Selain itu aku sangat menyayanginya.
            Aji, sebelum mengenal Sadewa aku sudah mengenal Aji terlebih dahulu. Dia selalu menemani aku dimanapun aku berada, yaa bisa dikatakan kami cocok, tapi sebagai teman. Sebenarnya aku menyadari Aji begitu menyayangiku, semua itu bisa dilihat dari kedekatan kami selama ini, sikapnya yang selalu memperhatikanku, ucapannya yang tak pernah mencela ataupun memakiku yang selalu memujaku. Aku cukup simpatik dengan Aji, walaupun Aji bukanlah orang semapan Sadewa jika dilihat dari segi materi aku juga merasa tenang, nyaman dan selalu menjadi wanita yang selalu dimanja di samping Aji.
            Aji terlalu lama memendam perasaannya, itu membuatku sangat bosan sampai akhirnya datanglah Sadewa yang juga sangat mengharapkanku. Dia cukup berani mengungkapkan perasaannya di hadapanku, akupun tak menolak cintanya.
Mendengar kisah cintaku semakin menggelora dengan Sadewa, Aji merasa cemburu dan merasa terhianati. Dia sangat membenci Aji, tak jarang aku mempergoki keduanya berselisih paham gara-gara aku. Kadang aku merasa bangga diperebutkan dua sosok lali-laki yang lumayan tampan ini, tapi kadang aku juga merasa sangat dan sangat risih dengan keadaan yang selalu berseteru. Aku juga merasa berdosa persahabatan yang seharusnya dijalin malah permusuhan yang terjadi.
Aji yang menunjukkan keseriusannya kepadaku, tiba-tiba dia datang ke rumahku bersama ibunya, orang tua satu-satunya kemarin untuk melamar aku, aku sangat kaget dengan kenekatan yang dilakukan Aji itu. Orang tuaku yang tahu akan hubunganku dengan Sadewa juga sangat bingung dan menyerahkan semua keputusan padaku. Hal ini yang sudah berhasil membuatku sangat bingung.
“Bu, hari ini aku harus memutuskannya!” kataku dengan penuh kebingungan.
“Ibu dan ayah akan menghargai keputusanmu anakku sayang, Sadewa atau Aji sama saja asalkan membuat kamu bahagia, kamu sudah besar sayang sudah waktunya menentukan pilihan atas hidupmu!” Pernyataan Ibu ini membuatku semakin yakin dengan keputusan yang akan aku ambil besok, ketika Aji ingin mengetahui keputusanku tentang lamaran yang dia ajukan kemarin. Aji orang yang baik aku tak mungkin akan mengecewakannya, begitupula dengan Sadewa orang yang sangat aku sayangi.
***
            Hari ini telah berkumpul orang tuaku dan Aji, hanya saja Ibu Aji tidak menemaninya untuk datang ke rumahku. Sesaat suasana ruangan ini senyap, yang terdengar hanya detik jam jam terus berdetak. Sudah saatnya aku harus mulai pembicaraan.
            “Sebelumnya aku minta maaf kalau keputusanku ini terlalu lama, dan membuatmu menunggu Ji, tapi aku harus benar-benar memikirkan keputusan ini!” Kataku dengan nada gugup.
            Semuanya masih sabar menunggu ucapanku tentang keputusan yang akan aku ambil.
            “Maaf Ji, aku belum siap mendampingi hidupmu, aku rasa aku tak pantas menjadi pendamping orang sebaik kamu!” untuk merangkai kata-kata ini sudah aku pikirkan selama dua hari dua malam.
            Aji hanya menunduk mendengar apa yang baru aku katakan. Dia sadar, kata-kataku tadi sebagai wakil dari penolakannku terhadap lamarannya kemarin, Aji tak banyak kata dan langsung permisi pulang.
            Orang tuaku hanya tersenyum dan meninggalkan aku sendiri di ruang itu. Aku kembali berpikir, apa aku terlalu jahat dengan keputusanku ini, tak bisa kupungkiri aku terlalu mencintai Sadewa, bukan karena dia orang yang kaya jika dibandingkan dengan Aji, tapi ini yang aku rasakkan.
            Telepon selulerku berdering begitu keras, tapi aku menghiraukannya, aku masih tertegun dengan keputusanku barusan. Tetapi telepon selulerku terus-terusan berbunyi dan mendorongku untuk melihat siapa sebenarnya orang yang antusias ingin mendengar suaraku ketika aku sedang kalut.
            Nomer ponsel Ibu Sadewa yang bolak-balik muncul di layar ponselku, aku bergegas menyambar ponselku dan menganggkatnya. Bagai tertimpa meteor Ibu Sadewa mengabarkan bahwa Sadewa meninggal karena pembunuhan. Aku yang tak kuasa menahan tangis, aku diantar ayah dan ibu ke ruamah Sadewa, ternyata Aji yang telah melakukan perbuatan terkutuk ini. Aku merasa sangat bersalah karena keputusanku Sadewa yang mendapat akibatnya.
            Aji yang melarikan diri belum juga ditemukan polisi. Setiap hari aku mendapatkan teror, seolah-olah itu teror dari orang yang membenciku dan ingin menghancurkan bahkan ingin membunuhku. Aku tahu ini teror dari Aji. Aji yang dulu baik,pendiam, dan semua yang baik ada di dirinya sekarang berubah menjadi sebuah monster yang sewaktu-waktu bisa membunuh aku dan keluargaku.


















CERPEN BEBAS








Kisah Aku dan Pemilik Lahan
            Hal yang tersulit dalam hidup ini jika kita harus memilih sesuatu yang semua kita inginkan. Kita harus menentukan satu pilihan dan mengorbankan salah satu dari yang kita inginkan tersebut. Butuh pemikiran yang benar-benar bulat untuk menentukan pilihan yang menurut kita baik semua. Untuk menjatuhkan suatu pilihan kita harus memikirkan konsekuensi yang akan kita terima setelah memutuskannya. Jangan sampai apa yang kita pilih itu kelak membuat kita sengsara ataupun menyesal.
            Lamunanku kian meracuni pikiranku. Lamunan yang semakin lama semakin tak bisa diterima akal sehat alias ngaco dan terlalu membual. Aahhh kenapa aku tiba-tiba benci dengan lamunanku sendiri??? Apa aku sudah gila atau salah satu syaraf di otakku sudah mulai ada yang tak bekerja dengan baik sehingga aku seperti ini.
            Seandainya aku bisa bersikap tegas 3 tahun yang lalu, aku tak akan merasakan kekacauan seperti ini. Tapi semuanya telah terjadi, tak mungkin mengulang yang telah terjadi dan aku terpaksa harus menelan pil pahit bahkan pil yang beracun ini.
            Esok adalah hari yang menurutku hari tersulit dan hari terburuk sepanjang sisa hidupku. Esok merupakan hari yang tak mungkin akan aku lupakan atau akan kubuang di dalam memori otakku yang mulai penuh ini. Bisa dikatakan besok adalah seburuk-buruknya hari, dan sekarang aku mulai bersiap-siap menerima dentuman bom esok hari.
Aku mulai memutar memori tentang aku, dia, dan dia. Aku adalah seorang yang bisa dikatakan tidak, tidak, tidak setia. Menganyam bambu telah aku lakukan bersama dia yang telah menginjak umur 3 tahun, membuatku jenuh harus menganyam dan menganyam setiap hari.
            Aku ingin berkebun atau aku ingin bersepeda saja keliling desa untuk melepas kepenatan saat menganyam bambu. Suatu hari tiga tahun yang lalu aku mulai memberanikan diri tak menganyam bambu sehari saja. Aku mencoba hal yang baru dalam sehari itu yaitu berkebun.
            Perjalananku untuk berkebun sangat sulit aku tak memiliki lahan yang tepat untuk berkebun dan akhirnya tanpa sengaja aku menemukan orang yang memiliki lahan untuk berkebun tanahnya sangat subur.
            Pertama kalinya aku menemukan orang itu dipersimpangan menuju sebuah sungai besar yang bermuara di laut dekat dengan rumah pemilik lahan itu. Aku tak berkata banyak, dia telah mengenalku. Tetapi dia tak tau banyak tentang diriku, aku lega kalau dia tahu sebelumnya aku memiliki kesenangan menganyam pasti dia tak akan suka. Aku bingung darimana dia mengenalku. Ahhh tidak penting yang penting sekarang aku mendapatkan lahan untuk berkebun.
            Pemilik lahan itu dengan gigihnya meyakinkanku kalau lahannya sangat subur dan pasti akan sangat bagus untuk berkebun. Setip hari, dia tak bosan-bosannya meyakinkanku, tak segan-segan dia membawakan bunga yang sangat indah, hasil tanamannya di atas lahan yang dia katakan sangat subur itu. Hal itu untuk meyakinkanku tentang lahannya.
            Sebenarnya aku tak suka dengan sikapnya yang terlalu ngeyel. Selang waktu hanya sebentar saja aku mulai tertarik dengan semua rayuan-rayuan pemilik lahan itu untuk berkebun di lahannya.
            “Apa istimewaku, sehingga kamu ingin sekali aku berkebun di lahanmu??” Tanyaku kepada pemilik lahan itu.
            “Engkau sangat berbeda dengan yang lain ketika aku pertama kali memandangmu!” Jawab pemilik lahan itu dengan mudahnya.
            Ahhh aku tak menghiraukan apa perkataannya, aku hanya menganggap itu sebuah rayuan agar aku mau berkebun di atas lahannya. Aku paham betul dengan sifat pemilik lahan seperti dia, sama saja!
            Aku berbalik meyakinkan dia, kalau lahan ini masih belum berpemilik. Dan seperti yang ada dalam otakku, dia menjawab lahan ini hanya aku yang akan menggunakan untuk berkebun tidak ada yang lain.
            Aku mulai berkebun saat itu juga dan meninggalkan kegiatan menganyam bambu yang aku rasa sudah sangat membosankan. Aku mulai menyukai berkebun menanam bunga-bunga yang berwarna-warni, serasa dunia ini untuk berkebun saja. Sehari, dua hari, tiga hari, bunga-bunga di kebun semakin indah dan empat hari aku merasakan ada yang lain.
            Setiap pagi aku merasakan ada yang aneh seorang perempuan selalu mendatangi kebunku, bukan, kebun di atas lahan orang lain. Aku menanyakan tentang perempuan itu kepada pemilik lahan, yang akhir-akhir ini aku telah merasa mengenal pemilik lahan itu. Akupun merasa lahan ini menjadi milikku dengan alasan aku sangat menyukai lahan ini begitupula pemilik lahan ini menyukai aku.
            Pemilik lahan menjawab kalau perempuan itu bukanlah siapa-siapa, dia orang yang mengagumi tanaman bungaku. Tapi tidak dengan pikiranku, aku merasa perempuan itu tak tahu kalau aku pemilik bunga itu, yang dia tahu hanya pemilik lahan yang aku tanami bunga.
            Hari semakin cepat berlalu, aku semakin dan semakin menyukai berkebun, bunga-bunga dan pemilik lahan. Sebelum aku lupa diri dengan kesenangan baruku, aku harus mengaku kepada pemilik lahan kalau aku sebenarnya memiliki hobi menganyam bambu sebelum aku menyukai berkebun.
Aku takut pemilik kebun akan marah mengusirku, mencabut bunga-bunga yang telah aku tanam, dan melemparkannnya ke wajahku bersama sisa tanah yang masih menancap di akar-akar bunga. Perkiraanku salah, pemilik kebun itu menerimaku apa adanya walaupun saat ini aku masih sering mengayam bambu.
Perempuan itu tetap datang setiap pagi, bahkan sekarang lebih sering tak hanya pagi saja, siang, sore dan malam. Aku semakin tak nyaman dengan kedatangannya hal ini dapat membuat bunga-bungaku layu.
Ketika pemilik lahan pergi entah kemana, aku cemas memikirkannya, seketika aku menghampiri saudara pemilik lahan yang bekerja di samping kebun bungaku sebagai penggali pasir. Dia mengatakan bahwa perempuan yang selalu datang itu adalah perempuan yang menanam bunga juga di lahan ini sebelum aku menanaminya. Aku sontak kaget, pemilik lahan itu menipuku, ternyata perempuan itu, ahh tidak, aku tak boleh berfikiran macam-macam tentang hubungan perempuan itu dengan pemilik lahan.
Sesampainya pemilik lahan di antara bunga-bunga yang indah di kebun, aku menghampirinya dan aku mengatakan.
“Aku sudah berfikir sangat panjang, aku akan benar-benar meninggalkan menganyam dan akan terus berkebun di lahanmu!” aku melihat kekacauan di wajah pemilik lahan itu, aku tak menemukan sedikit rasa senang di raut mukanya setelah aku mengeluarkan pernyataan itu.
“Jangan, jangan kau tinggalkan kegiatanmu yang dulu, sebaiknya teruslah menganyam!” Jawab pemilik lahan itu dengan gugup.
“Kenapa?? Apa kau tak menyukaiku lagi???” Tanyaku denga penuh keheranan.
“Tidak, aku menyukaimu, menyukai bunga-bungamu!” Jawabnya.
“Lalu??? Apa kau takut aku akan memonopoli lahanmu??” Tanyaku sambil menebak-nebak.
“Sekali lagi aku katakan tidak!!!” jawabnya.
“Katakan, apa yang sebenarnya terjadi??” Tanyaku penasaran.
“Lahan ini sudah ada yang mengolah sebelum kau dan sampai sekarang sebenarnya dia masih mengolahnya!” Jawabnya dengan memalingkan muka dariku.
“Berarti selama ini kau membohongiku??? Apakah perempuan yang selalu datang kemari itu????” tanyaku sekali lagi.
“Iya...” Jawabnya singkat.
“Aku sudah menduganya, tapi aku terlanjur mencintai bunga-bunga dan lahan ini!” Kataku dengan penuh air mata.
Pemilik lahan hanya bisa diam, selang beberapa lama dia menghampiriku dan berrkata dia tetap menyukaiku seperti pertama dia melihatku. Aku rasa semua itu sudah terlambat, hatiku terlalu sakit dibohongi.
Aku yang sudah mulai terbiasa dengan berkebun sekarang harus menerima kenyataan bodoh ini. Aku harus pergi dari lahan ini dan kembali menganyam bambu. Tetapi sakit hatiku terkalahkan dengan rasa cintaku kepada kebun, bunga-bunga, dan pemiliknya.
Aku baru sadar ternyata menganyamlah kehidupanku, kehidupanku yang sebenarnya bukan berkebun. Dan aku terbangun dari lamunanku, bahwa esok pemilik lahan akan bersanding dengan perempuan itu.
Aku hanya bisa menatap dan membayangkan bunga-bunga dan kebun yang telah menjadi bagian dari diriku itu, tak bisa aku raih kembali. Hanya kenangan yang tumbuh berkembang bersamaku saat ini dan esok.




















TENTANG PENULIS
Text Box:  Dua puluh satu tahun silam pada 11 Maret 1989 di Tulungagung lahirlah gadis kecil bernama Marista Dwi Rahmayantis. Gadis  ini tinggal bersama kedua orang tuanya di Desa Besole, Kecamatan Besuki, Tulungagung. Tekad pertama gadis ini ingin segera menyelesaikan kuliahnya di  S1 Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah Universitas Negeri Malang tepat waktu dan selalu ingin membuat kedua orangtuanya bangga, untuk itulah motto hidupnya adalah “keberhasilan adalah segala-galanya dalam hidup”. Perjalanan hidupnya dia mulai dari menempuh pendidikan di TK Dharmawanita Desa Besole yang kemudian ke SDN 1 Besole, dan diteruskan ke SMPN 1 Tulungagung, selanjutnya di SMAN 1 Boyolangu, sampailah perjalanan gadis ini di fakultas Sastra Universitas Negeri Malang yang dimulai pada tahun2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar