Minggu, 26 Juni 2011

Lika-liku Perjalanan Sertifikasi Guru (ARTIKEL TAHUN 2009)

Setelah disahkannya undang-undang guru, yakni Undang-Undang No.14 Tahun 2005, profesi guru  kembali menjadi perhatian dikalangan banyak pihak, baik yang berkecimpung dalam dunia pendidikan maupun dikalangan pemerhati pendidikan. Mengapa tidak, kehadiran undang-undang tersebut telah menambah wacana baru akan dimantapkannya hak-hak dan kewajiban bagi guru. Di antara hak yang paling ditunggu-tunggu selama ini adalah adanya upaya perbaikan kesejahteraan bagi guru dan dosen. Sayangnya, kehadiran undang-undang ini menemui banyak kendala dalam implementasinya.
Disamping itu, adanya beberapa pasal yang belum jelas bentuk implementasinya, khususnya pasal yang mengatur kualifikasi pendidikan dan pemberian tunjangan profesi. Dalam Pasal 8 disebutkan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik (untuk dosen diatur dalam Pasal 45). Sertifikat pendidik ini merupakan prasyarat untuk memperoleh tunjangan profesi dan pengakuan sebagai tenaga profesional. Kemudian dalam Pasal 16 disebutkan bahwa pemerintah memberikan tunjangan profesi kepada guru yang telah memiliki sertifikat pendidik yang besarnya setara dengan satu kali gaji pokok. Dengan demikian seorang guru atau dosen yang telah memperoleh sertifikat pendidik, akan mempdapatkan penghasilan yang terdiri dari : (1) gaji pokok dan tunjangan yang melekat pada gaji, (2) tunjangan fungsional, dan (3) tunjangan profesi. Disamping itu, guru dan dosen akan menerima tambahan penghasilan lain dalam bentuk tunjangan khusus bagi mereka yang bertugas di daerah khusus.
Dengan sertifikat profesi ini, seorang guru berhak mendapatkan tunjangan profesi sebesar satu bulan gaji pokok guru. Untuk itulah, program sertifikasi guru digelar oleh pemerintah dalam bingkai uji sertifikasi bagi para pendidik. Nantinya, semua guru harus memiliki sertifikat sebagai lisensi atau izin mengajar. Program sertifikasi guru ini adalah salah satu terobosan pemerintah dalam bidang pendidikan guna meningkatan mutu pendidikan nasional dan sekaligus peningkatan kesejahteraan bagi guru yang selama ini dirasa teramat rendah. Hal itu pula didasarkan atas asumsi bahwa persoalan peningkatan mutu pendidikan tentu bertolak pada mutu guru. Tanpa adanya peningkatan mutu guru itu sendiri, jelas kualitas pendidikan di tanah air saat ini tidak akan banyak berubah.
Dalam perjalanan pelaksanaan program sertifikasi guru yang ada selama ini, pemerintah menunjukkan ketidak profesionalnnya. Sejak awal telah banyak celah yang menunjukkan kelemahan program uji sertifikasi yang sedang berlangung hingga saat ini.  Banyak prosedur yang dibuat pemerintah yang pada akhirnya juga dilangkahi sendiri. Di antaranya, mengenai ketentuan lulus atau tidaknya para guru yang mengikuti tahapan program sertifikasi guru ini. Secara logika dan seharusnya, untuk mendapatkan sertifikat profesi pendidik, guru akan berujung pada dua kenyataan : antara lulus dan tidak lulus. Hal ini untuk memilah mana guru yang memang benar-benar kompeten dan profesional dan mana yang tidak memiliki kompetensi, kepribadian dan profesionalitas sebagaimana yang diharapkan.
Namun yang terjadi, tidak ada kategori tidak lulus dalam program sertifikasi selama ini. Sebab ujung-ujungnya, semua guru tetap akan mendapat sertifikasi itu. Disinilah salah satu letak konsepsi yang salah fatal dan yang harus segera diluruskan.  Satu sisi pemerintah sudah menetapan alat ukur kompetensi guru melalui portofolio. Sementara di sisi lain, peraturan yang dibuat juga sangat membuka peluang terjadinya pelemahan terhadap kualitas uji kompetensi pendidik tersebut.
Di dalam aturan tentang sertifikasi, bila portofolio yang disusun guru tidak memenuhi standar dan dinyatakan tidak lulus, masih ada peluang besar untuk lulus sertifikasi dengan mengikuti Diklat Profesi Guru. Padahal, Diklat Profesi sendiri terhitung singkat dan mudah. Seakan-akan hanya dalam waktu 30 jam Diklat Profesi dianggap cukup untuk melahirkan SDM tenaga pendidik yang kompeten dan profesional. Mengenai masa kerja, belum tentu guru yang sudah mengajar selama puluhan tahun memiliki kemampuan yang lebih baik dalam proses pembelajaran. Jika mau berlaku adil, guru-guru muda malah jauh lebih banyak yang memiliki metode dan strategi yang lebih bagus. Karena banyak guru yang telah lama mengajar tidak diimbagi dengan adanya pengembangan yang kontinyu. Dengan demikian mereka seakan ketinggalan informasi tentang pendidikan dalam hal proses pembelajaran kontemporer.
Pengembangan kompetensi guru yang ada saat ini seakan masih dilihat dari kacamata birokrasi dan cenderung meremehkan hal yang bersifat esensial. Sebuah persoalan klasik tentunya bagi para guru di negeri ini. Terbukti hanya untuk pemenuhan portofolio, banyak guru ikut pelatihan dan seminar, dan ketika lulus langsung berhenti total. Tuntutan peningakatan mutu pendidikan adalah suatu hal yang niscaya dan tidak dapat ditawar-tawar lagi. Sedangkan guru, dimanapun juga dan bagaimanapun juga tetap memiliki kontribusi dan tanggung jawab mendidik anak bangsa. Namun, jangan sampai upaya peningkatan mutu pendidikan yang dimulai dari peningkatan mutu guru dengan program sertifikasi guru menjadi momok tersendiri dalam dunia pendidikan kita.
Kondisi riil di lapangan selama ini membuktikan tidak banyak berubah dari sebelumnya. Bahkan kesejahteraan guru tidak beranjak naik sedikitpun sebagaimana yang diharapkan selama ini. Sebab program sertifikasi guru yang bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, ternyata tidak bisa maksimal hanya dengan uji sertifikasi seperti yang selama ini berlangsung. Selain itu, ribuan tenaga pendidik yang telah lulus sertifikasi selama ini dibuat harus terus menunggu untuk mendapat gilirian menerima tunjangan profesi pendidik (TPP) sebagaimana yang telah dijanjikan pemerintah.
Jika demikian kenyataannya, bukan lebih baik jika program sertifikasi guru dihentikan saja? Bila tidak, kucuran anggaran sebesar berapapun untuk peningkatan kualitas pendidikan di Tanah Air akan sia-sia belaka. Dan kalau memang pemerintah berniat meningkatkan gaji guru, sebenarnya dapat saja langsung dilakukan tanpa berdalih dengan program “spektakuler” seperti program uji setifikasi yang ruwet dan bertele-tele ini. Bisa jadi program yang merupakan amanah UU Guru ini berpotensi menjadi lahan manis dalam ajang korupsi. Mengingat jumlah guru yang banyak dan besarnya dana yang disediakan tidak menutup kemungkinan akan membuka peluang lahirnya praktik KKN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar